Jumat, 06 Mei 2016

Jika nanti aku ditempatkan...


Sahabatku yang tersayang,
Selamat, kalian terpilih dari sekian orang yang berbondong-bondong menggantungkan harapan untuk bekerja, namun Tuhan telah memilih kalian (sekarang) disini, untuk mulai mengabdikan diri.
Kalian menjalani tahap demi tahap, satu demi satu proses yang katanya di proses itu teman teman kalian digugurkan, karena kalian dianggap lebih baik.
Jabat tangan, setelah usai bicara tatap muka, mendalami peran, tanda kalian lah yang layak di sandingkan dengan kursi yang telah disiapkan.
Lalu  selembar kertas kecil, bermaterai, akan menjadi saksi kunci perjalanan kalian kedepan, ditemani satu batang tinta hitam.

Tiba-tiba, tangan kalian gemetar. Peluh dingin mengucur di sela jari kalian. Tatapan kalian tertahan pada satu kalimat. Kalimat yang membuat kalian risau tak karuan.
Detail kalimat itu jelas mengabarkan kalian ditempatkan disuatu desa. Desa yang asing kalian dengar, desa yang tidak kalian temukan namanya di peta, bahkan map berbasis satelit pun, tidak bis melacak dimana titik desa itu.

Kalian menyerah, kalian meninggalkan kertas itu. Tinta hitam memanggil2 nama kalian, tapi kalian tetap diam dan perlahan menjauh.
Kalian bergumam dan mengangkat bahu "hah, penempatanku didesa terpencil, aku bisa apa disana? Pasti disana tidak ada sinyal, tidak ada keramaian, bahkan untuk tidur pun aku tidak akan tenang. Aku akan jauh dari orang tua, aku akan susah untuk pulang, aku akan kelaparan, aku kesepian, aku akan......" terpaksa kata-kata hati kalian dihentikan. Karena ada kertas dan tinta yang akan kalian jamah.

Menit berlalu, kalian berdiri dan menyalami kembali. 
Ternyata kertas itu masih putih belum tergores.
Dengan bangga kalian koar2 "aku sudah diterima, tapi aku menolak, aku ingin yang lebih baik"

Wahai sahabatku,
Betapa bangganya pada kalian,
 bangga karena kalian mampu berada ditahap yang di idam-idamkan.
Tapi alangkah remuk,
Ketika kami berpeluh mati-matian tunggang langgang mencari,
Kalian dengan senang lapang mengakhiri.
Dengan alasan yang sangat kami benci.

Kenapa? Kalian takut? 
Bukankah setiap jengkal daratan Indonesia ini milik kalian?
Bukankah, mereka yang disana saudara kalian?
Ada yang menunggu kisah kalian.
Kenapa masih enggan berbagi, sahabat.
Bukankah niatnya sama? Untuk pengabdian?


Sahabatku yang budiman,
Jika dari awal takut  berjalan, tolong jangan melangkah
Biarkan yang lain datang, jangan beri pengharapan.
Jangan pura-pura tegar.


Untuk para sahabat yang ragu berjalan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar