I. PENDAHULUAN
Ekologi merupakan ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme
dengan lingkungannya (hubungan timbal balik). Kehidupan organisme yang ada pada
wilayah atau habitat tertentu sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan abiotik maupun biotik. Faktor
lingkungan tersebut merupakan faktor yang berpengaruh terhadap organisme dalam
proses perkembangannya. Apabila terjadi gangguan terhadap lingkungan maka
secara langsung akan
berdampak pada populasi dari organisme tersebut (Odum, 1971).
Lingkungan yang
baik pada sebuah habitat akan menjamin keberlangsungan hidup suatu individu.
Tidak ada organisme yang mampu berdiri sendiri tanpa dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan yang ada dan harus ada kondisi lingkungan yang ada tertentu yang
berperan terhadapnya dan menentukan kondisi hidupnya. Lingkungan merupakan
kompleks dari berbagai faktor yang saling berinteraksi satu sama lainnya, tidak
hanya antara faktor biotik dan abiotik, akan tetapi antara biotik itu sendiri
dan juga antara abiotik dengan abiotik (Campbell, Reece and Mitchel, 2004).
Faktor lingkungan mencakup
segala sesuatu yang ada di daratan maupun perairan. Sama seperti halnya faktor
lingkungan di daratan atau yang dikenal dengan faktor terestrial, pada daerah
akuatik juga dipengaruhi oleh biotik dan abiotik. Faktor biotik yang
mendomonasi adalah kehidupan hewan dan tumbuhan yang membutuhkan lingkungan yang
stabil untuk perkembangannya. Contohnya, tumbuhan memerlukan cahaya untuk
berfotosintesis. Jadi, terdapat hubungan yang kompleks dari faktor tersebut
(Resosoedarmo, Kartawirata, Soegianto, 1985).
Faktor abiotik yang
mempengaruhi lingkungan biotik merupakan komponen tak hidup berupa faktor fisika
maupun faktor kimiawi yang merupakan medium atau substrat tempat berlangsungnya
kehidupan atau lingkungan tempat hidup. Komponen abiotik dapat berupa faktor
yang mempengaruhi distribusi organisme seperti suhu
air, cahaya, matahari,
kelembaban udara, dan kecepatannya. Faktor tersebut terdapat pada lingkungan terestrial
(daratan) (Soemarwoto, 1991).
Pada faktor biotik yang telah diulas, meliputi semua organisme
hidup baik itu konsumen, produsen, atau dekomposer. Namun, faktor lingkungan
yang biotik dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif adalah faktor abiotik. Dalam mencari data
kuantitatif dan kualitatif tersebut dibutuhkan alat khusus atau alat tertentu (Hanum,
2009).
Faktor lingkungan terestrial
yang meliputi daerah daerah membutuhkan alat yang bisa digunakan didarat untuk
mengukur berapa faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban udara, maupun
ditanah atau permukaan. Untuk itu, perlu pemahaman tentang cara penggunaan alat
dilingkungan terestrial. Hal tersebut yang melatar belakangi faktor lingkungan terestrial.
1.2
Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui faktor lingkungan terestrial
dan alat yang digunakan untuk mengetahui lingkungan terestrial.
1.3
Tinjauan Pustaka
Ekologi adalah suatu pengkajian ilmiah atau ilmu yang mempelajari
tentang hubungan timbal balik antara organisme dengan lingkungannya. Ekologi
atau kajian ekologi memiliki tingkat organisasi komponen biologis yang salah
satu dianataranya adalah ekosistem. Ekosistem merupakan bagian dasar dari suatu
ekologi yang terdiri atas semua organisme hidup (faktor biotik) dan lingkungan
abiotik yang mengelilinginya serta dapat menompang semua kebutuhan hidupnya
sendiri (Resosoedarmo et al, 1985).
Didalam suatu ekosistem, organisme yang menyusun atau
yang berada ditempat tersebut. Kehidupannya sangat ditentukan oleh faktor–faktor lingkungannya akuatik dan lingkungan terestrial. Terestrial
merupakan wilayah daratan atau permukaan tanah. Sedangkan ekosistem terestrial merupakan
hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan lingkungannya diwilayah daratan
(Setiadi, 1989).
Organisme didalam suatu lingkungan bertautan erat sekali
dengan sekelilingnya, sehingga organisme tersebut akan membentuk bagian dengan
lingkungannya. Interaksi suatu organisme dengan lingkungan disekelilingnya akan
menentukan ukuran populasi dan
penyebarannya. Faktor-faktor ini mungkin tidak seragam pentingnya
terhadap semua organisme dalam lingkungan (Michael, 1990).
Faktor-faktor
lingkungan akan mengendalikan laju berfungsinya berbagai proses hidup dalam
suatu organisme. Kombinasi faktor yang menghasilkan keluaran maksimum dalam
sebuah proses disebut optimum untuk
proses itu. Setiap proses memiliki batas atas dan bawah toleransi untuk
masing-masing faktor lingkungan. Jika setiap faktor keberadaannya kurang dalam
sebuah lingkungan atau keberadaannya berlebihan, hewan atau tanaman yang
bergantung padanya, tidak akan ada didalam daerah tersebut. Faktor-faktor dapat
digantikan keberadaannya oleh yang lain (Michael, 1990).
Faktor lingkungan abiotik merupakan semua aspek kimia
dan fisika dari lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan distribusi
hewan dan tumbuhan. Udara dan tanah adalah faktor abiotik yang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan organism-organisme
terisrial. Selain pengukran pada kondisi fisika kimia sebagai faktor
lingkungan habitatnya, kehadiran tumbuhan terutama dapat mempengaruhi kondisi udara
dan tanah. Mikrolimat merupakan kondisi udara yang berpengaruh dan berhubungan
langsung dengan tumbuhan. Walaupun hanya dalam daerah yang sangat kecil,
mikrolimat dapat menyebabkan adanya variasi dalam tipe dan komposisi tumbuhan.
Komponen mikrolimat tersebut antara lain temperatur udara (suhu), kelembaban
udara, intensitas cahaya dan kecepatan angin. Suhu berpengaruh terhadap ekosistem
karena suhu merupakan syarat yang diperlukan organisme untuk hidup. Pada
beberapa jenis organisme, yang ada yang hanya dapat hidup pada kisaran suhu
tertentu. Suhu lingkungan merupakan faktor penting dalam ekosistem karena
pengaruhnya pada proses fisiologis organisme penghuni ekosistem (Odum, 1971).
Kelembaban udara merupakan sejumlah uap air yang
terkandung diudara atau atmosfer, biasanya dinyatakan dalam berat uap air untuk
setiap volume udara tertentu. Setiap suhu tertentu ditempat yang sama akan
memberikan harga kelembaban tertentu disebut kelembaban absolut. Alat yang
digunakan untuk menentukan kelembaban relatif adalah sling psychrometer
(Setiadi, 1989). Menurut Arsyad (2010) Selain pengukuran pada kondisi udara,
faktor lingkungan lain yang juga dapat diukur dan memberikan pengaruh terhadap
ekosistem adalah tanah. Tanah merupakan sebuah badan yang terbentuk dari hasil
pelapukan batuan akibat aktivitas iklim dan organisme serta materi organik
hasil proses dekomposisi yang mampu mendukung kehidupan.
Tanah merupakan tempat hidup organisme. Jenis tanah yang
berbeda menyebabkan organisme yang hidup didalamnya juga berbeda. Tanah juga
menyediakan unsur-unsur penting bagi pertumbuhan organisme. Struktur fisik, pH,
komposisi mineral didalam tanah akan membatasi persebaran tumbuhan dan hewan yang memakannya, sehingga menjadi
salah satu penyebab timbulnya pola mengelompok pada area tertentu yang acak
pada ekosistem terestrial (Campbell et al.,
2004).
Pada ekosistem terestrial, tanah merupakan faktor
lingkungan yang amat penting. Tanah merupakan substrat alami bagi tumbuhan,
habitat bagi detrivora dan mikroba.Didalamnya mineral dan zat organik
terkumpul.Akan tetapi, hal tersebut tidak bisa dimanfaatkan bila kondisi
fisika-kimia tanah diluar toleransi organisme yang ada didalamnya atau
diatasnya. Faktor fisika-kimia tanah mempengaruhi sebaran organisme tanah baik
secara vertikal (hewan tanah dan mikroba), maupun horizontal (vegetasi). Oleh
karenanya dalam analisis ekosistem terestrial perlu untuk mengumpulkan data
fisika-kimia tanah. Beberapa pengukuran yang dapat dilakukan dalam pengukuran
fisika-kimia tanah diantaranya adalah suhu tanah, pH tanah, tekstur tanah,
profil tanah, porositas, kelembaban tanah, dan lain-lain (Setiadi, 1989).
II. PELAKSANAAN PRAKTIKUM
2.1
Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Selasa, 19 Februari 2013 di
Laboratorium Pendidikan 4, Jurusan Biologi, Fakultas Maematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Andalas Padang.
2.2
Alat dan Bahan
Ala yang digunakan pada praktikum kali ini adalah GPS, anemometer, soill moisture meter, termometer,
pH meter, lux meter, pengukur curah hujan sederhana, dan sling psyhcrometer.
2.3
Cara Kerja
Praktikum ini dilaksanakan diluar laboratorium. Praktikan dibagi menjadi 6 kelompok
besar dengan 6 pos yang berbeda.
Tiap pos dikunjungi secara bergantian. Ditiap pos terdapat asisten yang
akan menjelaskan tentang cara kerja alat, manfaat alat yang akan digunakan
untuk pengukuran lingkungan terestrial. Penjelasan tersebut kemudian dicatat
dan alat di foto menggunakan kamera atau kamera HP.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1
Hasil
Dari praktikum
yang dilakukan maka didapat hasil dari cara kerja dan penggunaan alat yang
digunakan untuk faktor lingkungan
terestrial. Alat-alat yang digunakan adalah GPS, anemometer, soil moisture meter,
termometer, pH meter, lux meter, pengukur curah hujan sederhana, dan sling psyhcrometer.
3.2
Pembahasan
3.2.1 Lux Meter
Alat ini terdiri dari dua komponen, yaitu sensor cahaya dan skala
pengukuran. Alat ini memiliki tombol on-off, kemudian kalibrasikan nilai yang
tertera pada layar sensor cahaya pada skala normal atau nol. Data pada daerah
yang akan diukur, selanjutnya bandingkan dengan intensitas cahaya pada daerah
yang ternaungi, agar terlihat perbandingan data intensitas cahaya. Menurut
Irshady (2011) lux meter merupakan alat yang digunakan untuk mengukur
intensitas cahaya, kelebihan alat ini adalah mampu mengkalibrasikan nilai
sampai dengan kelipatan 4, alat ini cukup efektif digunakan untuk pengamatan
intensitas cahaya. Cahaya sangat penting untuk kehidupan organisme di
lingkungan terestrial dan menjadi faktor utama dari lingkungan tersebut.
Menurut Hanum (2009), Alat ini
menggunakan 2 termometer dimana termometer pertama untuk mengukur suhu udara
biasa dan kedua untuk mengukur suhu udara jenuh karena bagian bawah tersebut
dilengkapi kain basah. Berdasarkan bacaan dari kedua termometer, nilai kelembaban
relatif dapat ditentukan dengan menggunakan tabel konversi tertentu. Selain
sling psychometer kelembaban juga dapat diukur dengan hygrocheck hanna HI 98601
yang dilengkapi sensor sehingga penggunaan relatif lebih mudah.
3.2.2 Sling Psyhcrometer
Sling psyhcrometer terdiri dari dua pengukuran skala kelembaban,
yaitu skala atas dan skala bawah. Skala atas menunjukkan bahwa udara kering dan
skala bawah menunjukkan udara basah atau lembab. Skala bawah biasanya dibalut
dengan kapas yang basahi terlebih dahulu, selanjutnya putar sling selama 3
menit atau 10 kali kekanan dan kekiri. Kemudian baca skala yang terbaca dan
cocokkan dengan tabel pada buku panduan dan bandingkan skala tersebut dengan
nilai relatif. Semakin kecil nilai yang didapat maka semakin kering kelembaban
udara pada suatu tempat. Menurut Irshady (2011), udara yang lembab memiliki
nilai perbandingan relatif yang rendah. Alat ini merupakan metode konvensional
yang digunakan untuk mengukur kelembaban udara. Kelembaban udara sangat
berpengaruh untuk organisme terestrial atau daratan karena dapat meningkatkan
atau mengurangi angka kelahiran.
Alat
ini menggunakan 2 termometer dimana termometer pertama untuk mengukur suhu
udara biasa dan kedua untuk mengukur suhu udara jenuh karena bagian bawah
tersebut dilengkapi kain basah. Berdasarkan bacaan dari kedua termometer, nilai
kelembaban relatif dapat ditentukan dengan menggunakan tabel konversi tertentu.
Selain sling psychometer kelembaban juga dapat diukur dengan hygrocheck hanna
HI 98601 yang dilengkapi sensor sehingga penggunaan relatif lebih mudah (Hanum, 2009).
3.2.3 GPS (Global Position System)
Alat ini berbentuk seperti ponsel atau handphone, memiliki tombol on-off dan tombol navigasi serta tombol
menu. Pada layar apabila dihidupkan akan terdapat data tentang penunjuk
ketinggian, kompas sebagai penjuk arahnya, serta koordinat. GPS terhubung
langsung dengan satelit yang terdapat diluar angkasa. Menurut Odum (1971), GPS
tidak dapat digunakan pada hutan yang memiliki kanopi pohon yang sangat rapat.
GPS ini terhubung langsung dengan satelit buatan Amerika serikat untuk
mempermudah penjelajah atau peneliti mengetahui kordinat tempat berdiri serta
ketinggian suatu tempat dari permukaan laut.
GPS adalah singkatan dari Global Position System yang merupakan sistem untuk menentukan posisi dan navigasi
secara global dengan
menggunakan satelit. Sistem yang pertama kali dikembangkan oleh Departemen Pertahanan Amerika ini digunakan untuk
kepentingan militer maupun
sipil (survei dan pemetaan). Sistem GPS, yang nama aslinya adalah
NAVSTAR GPS (Navigation Satellite Timing and Ranging Global Positioning System), mempunyai tiga segmen
yaitu satelit, pengontrol, dan
penerima / pengguna. Satelit GPS yang mengorbit bumi, dengan orbit dan kedudukan yang tetap (koordinatnya pasti), seluruhnya
berjumlah 24 buah dimana 21 buah aktif
bekerja dan 3 buah sisanya adalah cadangan (Azhar, 2004).
3.2.4 Corong curah hujan
Corong curah hujan merupakan alat pengukuran untuk curah hujan yang
sederhana. Alat ini terdiri dari 2 komponen yaitu bejana penampung air hujan
dan corong atau cerocok. Cara meletakkan bejana hendaknya didalam lubang agar
tidak terganggu oleh organisme lain. Corong curah hujan adalah metode sederhana
untuk mengukur curah hujan. Terdiri dari bejana dan corong yang berbentuk
seperti cerocok. Penampung air hujan diletakkan terbenam kedalam tanah agar
mengurangi penguapan dan tidak terganggu oleh organisme lain. Metode ini sangat
mudah digunakan dan alat-alat yang dibutuhkan juga sangat ekonomis. curah hujan sangat, memepengaruhi habitat dari
suatu makhluk hidup. Dimana daerah bioma gurun dan setengah gurun curah hujannya sangat
rendah, lebih kurang 25 cm/tahun. Sementara itu pada bioma padang rumput curah
hujannya antara 25-50 cm/tahun dan bebrapa padang rumput juga curah hujannya mencapai 100 cm/tahun. Turunnya
hujan yang tidak teratur tersebut menyebabkan porositas dan draniase kurang
baik sehingga tumbuhan sukar mengambil air (Odum,
1971).
Menrut Djamal (2007), curah hujan sangat, memepengaruhi habitat dari suatu
makhluk hidup. Diman daerah biome gurun dan setengah gurun curah hujannya
sangat rendah, lebih kurang 25 cm/tahun. Sementara itu pada biome padang rumput
curah hujannya antara 25-50 cm/tahun dan bebrapa padang rumput jugacurah
hujannya mencapai 100 cm/tahun. Turunnya hujan yang tidak teratur tersebut
menenyebabkan porositas dan draniase kurang baik sehingga tumbuhan sukar
mengambil air.
3.2.5 pH
Alat pengukur pH yang lebih modern dan konvensional. Biasanya untuk
pengukuran sampel tanah harus dihomogenkan terlebih dahulu dengan air,
selanjutnya itu celupkan pH yang tertera pada layar. Odum (1971) menyatakan
bahwa pH suatu sampel asam memiliki nilai dibawah 7, sedangkan pH diatas 7
merupakan pH basa. pH meter sangat efektif untuk mengukur pH kelayakan pada
alat. Semakin tinggi pH suatu tanah maka akan menyebabkan organisme yang berada
ditanah atau mencari makan didalam tanah akan memberikan pengaruh yang beruk
untuk organisme unutuk tumbuhan dan hewan tersebut.
pH tanah adalah faktor kimia tanah
penting yang menggambarkan sifat asam atau basa tanah. Nilai pH tanah adalah
nilai aktif logaritma dari aktifitas ion hidrogen tanah. Besarnya nilai pH
tanah dipengaruhi oleh banyaknya faktor diantaranya jenis batuan induk, tipe
vegetasi dan aktivitas pemupukan. PH tanah menetukan ketersediaan unsur-unsur
hara bagi tumbuhan. Pengukuran pH tanah bisa dilakukan dengan pH-meter
elektronik, soil tester dan kertas pH universal (Hanum,
2009).
3.2.
Soil Moisture Meter
Soil moisture meter berbentuk seperti kotak yang memiliki tangkai,
namun ada pula yang berbentuk seperti pensil. Alat ini digunakan untuk
pengukuran kelembaban tanah. Cara menggunakan alat ini yang pertama dilakukan
penancapan ketanah dan dilihat nilai kelembaban tanah tersebut pada skala
pengukuran yang terdapat pada soil meter tersebut. Tanah yang lembab akan
memiliki nilai kelembaban berkisar antara 10-15, sedangkan tanah yang agak
lembab memiliki nilai berkisar antara 4-6.
Soil meter merupakan salah satu alat pengukur kelembaban
tanah, penggunaan alat ini sangat mudah, hanya ditancapkan kedalam tanah yang
diinginkan untuk diketahui nilai kelembabannya. Tanah yang kering akan
menujukkan nilai skala diantara 1-7 dan tanah yang lembab akan memiliki nilai
skala diantara 10-20 (Odum, 1971). Menurut Hanum (2009), Soil Thermometer prinsipnya hampir sama dengan termometer biasa, hanya
bentuk dan panjangnya berbeda. Pengukuran suhu tanah lebih teliti daripada suhu
udara. Perubahannya lambat sesuai dengan sifat kerapatan tanah yang lebih besar
daripada udara. Suhu tanah yang diukur umumnya pada kedalaman 3,5 cm, 6
cm,dan 10 cm. Macam alat disesuaikan
dengan kedalaman yang akan diukur. Termometer berada dalam tabung gelas yang
berisi parafin, kemudian tabung diikat dengan rantai lalu diturunkan dalam
selongsong tabung logam ke dalam tanah. Pembacaan dilakukan dengan mengangkat
termometer dari dalam tabung logam, kemudian dibaca. Adanya parafin
memperlambat perubahan suhu ketika termometer terbaca di udara.
3.6.7
Anemometer
Anemometer merupakan alat pengukur kecepatan angin. Alat ini
berbentuk seperti kipas angin memiliki baling-baling sebagai pengukur kecepatan
angin yang berhembus pada lingkungan sekitar. Alat ini memiliki layar skala
kecepatan. Untuk ke akuratan data lakukan pengulangan pada pengujian data
sebanyak tiga kali. Skala 2 m/s menunjukkan data bahwa pada disuatu daerah atau
lingkungan tersebut memiliki angin yang kuat. Menurut Irshady (2011), angin
yang kuat berkisar antara 2-3 m/s. Hal ini dapat dibuktikan dengan kecepatan
baling-baling anemometer berputar dalam jangka 30 detik. Alat ini biasanya diletakkan
dalam keadaan tergantung.
Menurut
Hanum (2009), kecepatan angin adalah jarak tempuh angin atau pergerakan udara
persatuan waktu dan dinyatakan dalam satuan meter perdetik (m/s), kilometer
perjam (km/jam) dan mil perjam (mi/j). Satuan mil (mil laut) perjam disebut
juga knot (kn) ; 1 kn=1,85 km/jam=1,151mi/j=0,514 m/d atau 1 m/d= 2,237
mi/j=1,944 kn. Kecepatan angin bervariasi dengan ketinggian tanah sehingga
dikenal adanya profil angin, dimana makin tinggi gerakan angin makin cepat.
Kecepatan angin diukur dengan alat yang disebut anemometer.
3.6.8
Termometer
Dari praktikum yang dilakukan untuk pengenalan alat pengukuran suhu
udara yaitu dengan menggunakan suhu udara. Alat ini berbentuk batangan yang
memiliki skala pengukuran dalam satuan calvin atau fahreinhait. Termometer yang
sebaiknya digunakan pada penelitian
adalah Termometer maksimum-minimum. Pengecekkan data dapat dilakukan
minimal sekali sehari. Menurut Setiadi (1989), Termometer raksa tidak bisa digunakan
untuk penelitian karena hanya dapat digunakan pada suatu waktu saja, selain itu
termometer raksa membutuhkan biaya yang cukup besar resta perawatan alat yang
rutin.
Menurut Handayanto dan Hiriah (2009), untuk mengukur suhu tanah dipergunakan
alat weksler. Termometer pada alat ini disimpan dalam tabung kayu yang ujungnya
berupa logam meruncing. Antara logam dengan termometer terdapat serbuk logam
yang menutupi
ujung termometer dan terdapat pada bagian atas logam meruncing tadi. Panas dari
tanah akan mempengaruhi logam dan kemudian akan diinduksikan ke serbuk logam.
Pengukuran temperatur
dapat dilakukan secara kuantitaif dan kualitatif. Pengukuran kauntitatif
dinyatakan dalam satuan kalori, yaitu gram kalori atau kilogram kalori
sedangkan pengukuran kualitatif dinyatak dalam derajat celcius, fahrenheit,
reamur, atau kelvin. Pengukuran bisa dilakukan dengan termometer. Prinsip
kerjanya berdasarkan pemuaian dan penerutan suatu zat padat atau cair akibat
pemanasan dan pendinginan (Wirakusumah, 2003).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1
Kesimpulan
Dari praktikum faktor lingkungan terestrial ini, maka dapat
disimpulkan beberapa hal antara lain :
1.
Lux-meter digunakan untuk
mengukur intensitas cahaya.
2.
Sling psyhcrometer digunakan
untuk mengukur kelembaban udara.
3.
GPS (Global Position System)
digunakan untuk mengukur atau mengetahui ketinggian, menunjukkan angka
ketinggian dan lokasi yang dituju.
4.
Corong curah hujan digunakan
untuk menghitung volume curah hujan.
5.
pH meter digunakan untuk
pengukuran suhu pada tanah.
6.
Soil moisture meter digunakan
untuk mengukur kelembaban tanah.
7.
Anemometer digunakan untuk
mengukur kecepatan angin.
8.
Termometer digunakan untuk
mengukur suhu udara.
4.2
Saran
Dalam melaksanakan praktikum ini disarankan kepada praktikan agar
lebih memperhatikan penjelasan dan cara penggunaan alat.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S. 2010. Konservasi
Tanah dan Air. IPB Press. Bogor
Azhar. 2004.
Penentuan Posisi Dengan GPS Dan Aplikasinya. Pradanya. Jakarta
Campbell, N. A. J. B Reece and L.G Mitchel. 2004. Biologi. Erlangga. Jakarta
Djamal, I.2007.Prinsip-Prinsip Ekologi Ekosistem,
Lingkungan dan Pelestariannya. Jakarta: Bumi Aksara.
Handayanto, E. Hiriah, K. 2009. Biologi Tanah.
Yogyakarta: Pustaka Adipura.
Hanum, W. 2009.Ekologi. Erlangga.
Jakarta
Irshady. 2011. Ekologi.
UGM Press.Yogyakarta
Michael, P. 1990. Ekologi Untuk Penyediaan Lahan dan
Laboratorium. Jakarta Press.Universitas Indonesia
Odum, E.P. 1971. Fundamental of Ecology. W. B. Saunder Com. Phildelphia 125. Pp.
Resosoedarmp, K. dan Soegianto. 1985.
Pengantar Ekologi. Gramedia. Jakarta
Setiadi, D. 1989. Dasar-Dasar Ekologi. IPB Press. Bogor
Soemarwoto, O. 1991. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan.
Gramedia. Jakarta
Wirakusumah,
S. 2003. Dasar-dasar Ekologi. Jakarta: UI Press
LAMPIRAN
Gambar 1. Anemometer Gambar 2. Corong curah hujan
Gambar 3.GPS Gambar 4.Lux meter
Gambar 5. Moisture meter
Gambar 6.PH meter
Gambar 7. Sling psychrometer
Tidak ada komentar:
Posting Komentar